Virtual Reality Pariwisata: LiDAR sebagai Gerbang Baru Wisata Digital Indonesia
Ketika pandemi COVID-19 melanda, saya sempat berpikir: apakah pariwisata Indonesia akan benar-benar berhenti? Bandara sepi, hotel kosong, kawasan heritage lengang. Namun, di tengah rasa pesimis itu, saya melihat satu cahaya kecil: teknologi. Tepatnya, Virtual Reality (VR) yang perlahan berubah dari sekadar gimmick teknologi menjadi sarana nyata membawa wisatawan berkeliling dunia tanpa harus meninggalkan rumah. Bagi saya, inilah peluang besar yang seharusnya kita tangkap, terutama di negeri seperti Indonesia yang penuh situs bersejarah nan megah. Kuncinya? Tak lain adalah teknologi LiDAR (Light Detection and Ranging).
Saya selalu kagum bagaimana LiDAR mengubah cara kita melihat dunia. LiDAR bekerja menembakkan jutaan pulsa laser ke permukaan objek, lalu menghitung waktu pantulnya untuk membentuk point cloud tiga dimensi. Hasilnya adalah model digital dengan detail luar biasa. Bahkan, LiDAR bisa menangkap relief ukiran pada batu candi, retakan kecil di dinding benteng tua, hingga bentuk pepohonan di sekitar situs heritage. Bagi saya, LiDAR bukan hanya alat pemetaan, tetapi mesin waktu digital yang mampu mengabadikan warisan budaya kita dalam bentuk yang tak lekang oleh waktu (Bryan et al., 2021).
Dalam konteks pariwisata, teknologi ini membuka jalan baru. Misalnya, sebelum LiDAR, jika kita ingin mendokumentasikan Borobudur, kita hanya mengandalkan foto dan video. Namun, foto dan video selalu memiliki keterbatasan sudut pandang. Kita hanya bisa melihat apa yang diarahkan kamera. LiDAR memungkinkan kita menciptakan model 3D Borobudur yang dapat dijelajahi secara bebas di ruang virtual. Wisatawan bisa berjalan di lorong candi, mendekati stupa, atau memutar sudut pandang 360 derajat. Bagi saya, ini pengalaman yang benar-benar berbeda (Wicaksana et al., 2023).
Saya percaya VR berbasis LiDAR bukan hanya soal teknologi canggih, tetapi juga soal demokratisasi wisata. Berapa banyak orang Indonesia yang mungkin tak pernah mampu ke Borobudur karena biaya, jarak, atau kondisi fisik? Dengan VR, siapa saja bisa mengunjungi situs bersejarah. Seorang siswa di pelosok Papua bisa menjelajahi candi Borobudur, sementara seorang lansia yang tak kuat naik tangga tetap bisa “berjalan” di atas relief candi. LiDAR menjadikan VR sangat realistis, karena data geometrinya presisi, bukan hanya gambar tempelan (Remondino & El-Hakim, 2006).
Namun, saya juga tidak menutup mata pada tantangan besar. Pertama adalah biaya. Survei LiDAR bukan hal murah. Sensor LiDAR, drone, pesawat, hingga pengolahan data memakan biaya ratusan juta hingga miliaran rupiah. Saya pernah berbincang dengan teman di Badan Informasi Geospasial (BIG), yang mengatakan bahwa biaya LiDAR Borobudur cukup signifikan, meski manfaatnya luar biasa. Inilah yang membuat banyak situs heritage di Indonesia belum terdokumentasi dengan LiDAR (BIG, 2020).
Selain itu, LiDAR hanya merekam bentuk fisik. Untuk menciptakan VR yang benar-benar hidup, kita butuh tekstur warna. Di sinilah fotogrametri sering dikombinasikan dengan LiDAR. Fotogrametri merekam warna permukaan, sementara LiDAR menyediakan bentuk geometri. Hasil integrasi keduanya adalah model 3D yang presisi dan indah. Saya selalu bilang: LiDAR memberikan kerangka tulang, fotogrametri memberikan kulitnya. Keduanya tak terpisahkan (Wicaksana et al., 2023).
Dari segi ekonomi kreatif, saya yakin VR pariwisata berbasis LiDAR bisa menjadi komoditas digital yang luar biasa. Bayangkan kita menjual lisensi tur virtual Borobudur ke platform edukasi global. Atau menciptakan game bertema sejarah Indonesia dengan lingkungan digital yang benar-benar identik dengan situs asli. Bahkan, wisatawan mancanegara bisa melakukan “preview” sebelum memutuskan datang ke Indonesia. Saya percaya, VR bisa menjadi jembatan antara digital dan fisik tourism (Tourism Analytics Indonesia, 2023).
Namun, saya juga punya kekhawatiran: jangan sampai VR justru menggantikan kunjungan wisata fisik. Pariwisata adalah sektor yang menghidupi jutaan orang—dari pemandu wisata, pedagang kaki lima, hingga pengelola homestay. Saya selalu meyakini, VR seharusnya menjadi pelengkap, bukan pengganti. Tugas kita adalah memastikan VR meningkatkan rasa penasaran, sehingga orang tetap ingin datang langsung. Borobudur sungguh luar biasa dilihat di VR, tetapi angin sejuk, wangi dupa, dan suara burung pagi hanya bisa dirasakan secara nyata.
Saya juga percaya, VR berbasis LiDAR bisa menjadi senjata diplomasi budaya. Dunia saat ini terhubung digital. Ketika negara lain memamerkan kota bersejarah mereka di VR, kita tak boleh ketinggalan. Indonesia punya Borobudur, Prambanan, Trowulan, Benteng Rotterdam, bahkan istana-istana tradisional di Sumatra. Semuanya layak diabadikan dengan LiDAR dan ditampilkan ke dunia. Saya membayangkan pameran virtual bertajuk “Indonesian Heritage in Virtual Reality” yang diakses jutaan orang dari berbagai negara.
Tentu saja, ada pekerjaan rumah besar. Kita harus melatih SDM lokal. Membuat model 3D dari LiDAR bukan sekadar menekan tombol software. Butuh ahli geospasial, pemodelan 3D, hingga programmer VR. Saya berharap ke depan, program pelatihan LiDAR bukan hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah. Karena kalau hanya menunggu pusat, banyak situs kecil di daerah yang mungkin akan terlupakan.
Yang tak kalah penting, kita perlu kebijakan perlindungan data. Model 3D situs heritage Indonesia memiliki nilai ekonomi tinggi. Pemerintah harus memastikan data LiDAR tidak dicuri atau dijual sembarangan. Harus ada regulasi jelas: siapa yang boleh memotret, siapa yang berhak mengolah, dan siapa yang boleh memanfaatkan hasilnya secara komersial (BIG, 2020).
Kesimpulannya, saya melihat masa depan Virtual Reality pariwisata Indonesia sangat cerah, asalkan kita mengelolanya dengan bijak. LiDAR memberi kita kemampuan menangkap keindahan warisan budaya dengan presisi luar biasa. Tetapi tantangan biaya, SDM, dan perlindungan data tidak boleh diabaikan. Saya yakin, VR bukan sekadar teknologi keren, tetapi cara baru mencintai Indonesia. Karena di dunia digital sekalipun, warisan budaya tetaplah jiwa bangsa yang tak boleh hilang.
Daftar Referensi
- BIG. (2020). Pemanfaatan LiDAR untuk Dokumentasi Heritage Indonesia. Badan Informasi Geospasial.
- Bryan, P. G., Blake, B., & Bedford, J. (2021). Metric Survey Specifications for Cultural Heritage. Historic England.
- Remondino, F., & El-Hakim, S. (2006). Image-Based 3D Modelling: A Review. Photogrammetric Record, 21(115), 269-291.
- Tourism Analytics Indonesia. (2023). Digital Heritage and Virtual Tourism Trends in Southeast Asia. Tourism Analytics Press.
- Wicaksana, P. K., Mahendra, I. M. A., & Paramitha, D. A. (2023). Integrasi Data LiDAR dan Fotogrametri untuk Model 3D Cagar Budaya Indonesia. Geospatial Journal Indonesia, 8(1), 12-21.